"Bunda"
Oleh: Jenny Jusuf
Oleh: Jenny Jusuf
Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir. Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke Rumah Sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terlalu terbiasa dengan jadwal kunjungan rutin ke Rumah Sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.
Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia, dengan daster panjang kesayangannya. Ia, dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia, dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar. Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke Rumah Sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.
Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam di hati. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke Surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.
Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya, ia “hadir” dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir pada masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri selamanya di bawah selimut dan menghindari dunia. Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja”, meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.
Ia hadir pada saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir pada masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar dan berbisik, “That’s my girl. Bagus, Nak.”. Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.
Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru. Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk bisa berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.
Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.
I know you’re listening, Mom. Welcome home.
...
Oh Bunda,
Ada dan tiada
Dirimu kan selalu ada
Di dalam hatiku
“Bunda” - Melly Goeslaw
Ada dan tiada
Dirimu kan selalu ada
Di dalam hatiku
“Bunda” - Melly Goeslaw
* Naskah ini melalui proses edit minimal, tanpa mengurangi makna dan isi.
Nice writing, Jenny.
ReplyDeleteTulisan anda membuat saya teringat pada seorang sahabat yang baru saja 'pulang' karena tumor kelenjar getah bening. Sama seperti Jenny, saya menyangka hari itu pasti akan seperti kemo-kemo dia sebelumnya. Tetapi memang satu-satunya kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri. Walaupun sudah mempersiapkan perpisahan dari setahun yang lalu, tetap saja kenyataanya menyakitkan. Namun kalau mereka sudah berdamai dengan kematian, sudah sepatutnya kita berdamai dengan kenyataan.
Untuk Dee, kapan nih cerita pamungkas supernova terbit?
Sudah lama sekali kami menunggunya;)
Buat Jenny, ceritamu sembilu, mematrikan mata tak terkecap, melumatkan hati, satir... yang menggandjal adalah kenapa kamu rekahkan cerita ini, cerita yang seharusnya kamu miliki, cerita sebagai dongengmu, cerita sebagai harta karunmu.. cerita yang mungkin tak bertabiek lagi... sayang sekali... tidak semuanya kesedihan harus diejawantahkan... lihat semuanya seakan ringan bercerita tentang kepedihan...
ReplyDeleteini hanya ketidaklengkapanku maafkan maafkan maafkan
tabiek
senoaji
Dear Senoaji,
ReplyDeleteTulisan tentang Ibu memang sesuatu yang sudah lama ingin saya buat. Dalam kesempatan ini, saya mempersembahkan catatan ini untuk beliau, dan menjadikannya sebuah doa. Bagi sebagian orang mungkin terasa berlebihan, namun inilah yang pas bagi saya, dan saya bahagia bisa memperdengarkannya untuk beliau. Kesempatan berbagi yang datang dari terpilihnya (dan dimuatnya) tulisan ini, buat saya adalah bonus. Apabila tulisan ini dapat menjadi ‘kail’ bagi para pembaca dan mendorong mereka untuk berbagi rasa atau kisah serupa, buat saya itu juga bonus.
Satu lagi, saya tidak merasa ada yang salah dengan mengungkapkan isi hati secara jujur, dan tidak ada yang salah juga dengan mengejawantahkan kesedihan, kegembiraan, kesengsaraan, ketakutan, sukacita, dalam bentuk apa pun. Saya tidak sedang mencoba memilah. Kepedihan dan kegembiraan, kesakitan dan kebahagiaan, bagi saya adalah pelajaran hidup yang sama nilainya dan patut dirayakan, sebagaimana kita merayakan hidup itu sendiri.
Terima kasih atas opininya :-)
buat jenny pada ujungnya saya setuju, bahwa kemudian cerita itu akan menjadi profan. Dan hak setiap orang untuk membuatnya menjadi pesan2 yang mesra bagi pembacanya. dan maafkan saya untuk ketidaklengkapan saya tidak melihat dari sisi2 yang lain. ada 360 derajat sudut yang ada, hanya saja penempatan saya yang kurang elegan untuk menyikapi sebuah tujuan mulia, sehingga memposisikan analogi saya menjadi sebegitu sempit, sebegitu dangkal. semoga bonus2 tersebut akan semesra tujuan mbak jenny. terimakasih buat balasannya yang begitu mesra dan bersahabat.
ReplyDeletetabiek
senoaji
saya juga inget ibu yang sudah tiada 15 tahun yang lalu, saat aku sedang membutuhkannya disisiku justru dia dibawa pergi oleh Sang Khalik. Mungkin Tuhan lebih mencintai ibu, agar deritanya di dunia segera berakhir.
ReplyDeleteSalam kenal,.....
Goresannya sungguh menyentuh dan bagiku bunda selalu hadir dalam hati dan inilah sepotong puisi buatnya :
ReplyDeleteBundaku ,
Dalam manis dan lezatnya kehidupan
Cintamu ada dalam syukurku
Dalam pahit dan getirnya kehidupan
Kasihmu ada dalam Sabarku
Dalam sulit dan berlikunya jalan
Kompasmu ada dalam pikiranku
Dalam gesekan dan benturan pergaulan
Bijakmu ada dalam hatiku
Adakah cinta yang melebihi cinta sang bunda ?
Adakah kasih yang melebihi kasih sang bunda ?
Tidak seperti sang matahari yang masih menyisakan malam
Tidak seperti sang udara yang masih mengosongkan ruang hampa
Tidak seperti samudra yang masih menghamparkan daratan
Cintamu adalah sejati-jatinya cinta
Kasihmu adalah sebenar-benarnya kasih
Dalam darahku mengalir darahmu
Dalam dagingku menempel dagingmu
Dalam pikiranku menumpuk pintarmu
Dalam hatiku menggunung bijakmu
Harimu adalah hari-hari ku
Dalam kasih ku ada kasih mu
Tak satupun mampu memisahkannya
Tidak jarak, tidak waktu dan tidak juga dimensi
Jenny, bagi saya 13 tahun kehilangan ibu adalah waktu-waktu yang penuh kegamangan. Saya tetap rindu dan rindu... selalu. Hingga membaca catatan ini saya tidak lagi merasa sendiri.. Thanks.
ReplyDeleteSelama ini saya hanya silent reader kamu dan dee
Salam kenal...
Ah, JenJus........... Two thumbs up?? SEMUA jari gw buat elo Jen..... =) Cukup sudah lo buat beberapa hari belakangan ini gw bermellow ria... ;p
ReplyDeleteMbak Dee, entah siapa yang beruntung... Jenny yang menemukan Mbak atau Mbak yang menemukan Jenny.... Aku iri.... (Lho???)
Buat Mbak Jenny, tulisannya sangat menyentuh... bolehkah saya membaca tulisan Mbak yang lain? Terima kasih ya Mbak Jenny, semoga tambah sukses!
ReplyDeletethanks ya jenny
ReplyDeletetulisan ini mengingatkan saya betapa saya kurang memperhatikan ibu saya selama ini
Galuh: ah, pertanyaan yang menarik! belom pernah kepikiran sebelumnya, ahahahahah
ReplyDeleteSeliara: thanks a lot! ;-) tulisan2 saya yang lain bisa dibaca di jennyjusuf.blogspot.com. monggo, monggo
Pareeeng...
nice :)
ReplyDelete