Tuesday, January 20, 2009

Rectoverso Moment: "Selamat Ulang Tahun"


Kartu itu tiba. Kado itu dibuka. Ucapan itu sampai. Tapi tahukah kita perjuangan di baliknya? Sebuah ucapan sederhana: selamat ulang tahun, kadang-kadang menjadi ucapan yang sangat luar biasa jika kita tahu kisah apa yang tersimpan di balik perjuangan seseorang untuk mengucapkannya pada kita.

Pekan terakhir "Rectoverso Moment", Selasa, 27 Januari 2009, "Rectoverso Moment" akan membahas kisah dan lagu dengan tema: Perjuangan besar untuk mengucapkan tiga kata sederhana 'Selamat Ulang Tahun'.

Saat kita melihat kartu ucapan selamat ulang tahun, atau menerima pesan 'Happy Birthday', seringkali kita tidak lagi menyimak kisah di baliknya, bahwa mungkin saja ada perjuangan besar untuk menyiapkan beberapa potong kata tersebut untuk kita. Sebaliknya, saat kita berjuang demikian keras untuk mendapatkan kado yang pas, kata-kata yang sempurna, bahkan untuk mencapai gagang telepon dan mengucap: ‘selamat’, terkadang perjuangan kita itu tidak diketahui oleh orang yang bersangkutan.

Silakan berbagi perjuangan Anda yang paling berkesan untuk mempersiapkan ucapan selamat ulang tahun bagi seseorang. Kirim kisah Anda plus biodata yang cukup lengkap ke: program@cosmopolitanfm.com paling lambat hari Selasa 27 Januari 2009 pukul 18.00, dan jangan lupa sertakan satu judul lagu yang paling mewakili kisah Anda. Bagi yang kisahnya terpilih akan mendapatkan 1 paket Rectoverso (CD & Buku) sebagai apresiasi karena Anda bersedia membuka hati dan berbagi dengan kita semua.

Ada banyak hal yang tidak kita ketahui di balik sebuah kartu ucapan, sekotak kado, atau sederet pesan pendek di layar ponsel. Menerima ucapan yang sama setiap tahun kadang menumpulkan kepekaan kita untuk bersyukur dan mengapresiasi perjuangan luar biasa di balik setiap detik kehidupan. Tak hanya dari mereka yang memberikan selamat bagi kita, melainkan juga perjuangan diri kita sendiri untuk memetik dan memahami setiap pelajaran hidup. So, selamat ulang tahun bagi kita semua… :)

Sampai bertemu di Rectoverso Moment hari Selasa depan, pukul 19.30 di Cosmopolitan 90.4 FM!

~ D ~

3 comments:

  1. bener bgt..3 kata simple tapi terkadang sulit diucapkan untuk orang2 tertentu.
    bahkan terkadang ucapan itu cukup lewat doa saja kepada Tuhan tanpa orang yg kita ucapkan selamat ulang tahun tahu..

    ReplyDelete
  2. bener...tiga kata itu seringkali terhenti, tak terucap, terutama pada orang-orang yang terkadang kita anggap special

    ReplyDelete
  3. PENJILAT SEJATI

    Cklek... klek....
    Hawa kejenuhan seketika menyergapku, sesaat setelah kuputar dua kali kunci pintu kamarku. Entah sampai kapan akan terus begini, masuk ke rumah sendiri dengan berceceran perkakas mewah, seperti berada dalam ruangan asing yang berserakan sampah dengan bau busuk yang telah mengganggu pikiranku ini.
    Segera kunyalakan lampu meja dan kurebahkan rasa letih yang telah dari tadi menunggangiku, di atas sebuah kursi ukiran Jepara asli yang aku sendiri tidak tahu sudah sejak kapan dia ada di kamarku ini.
    Dengan susah payah, aku raih pigura ibuku yang belum genap tiga bulan menghadap kehadirat-Nya. Kulihat senyum simpulnya yang membuatku menangis, kutatap dalam-dalam sorot matanya yang memaksaku untuk terisak, dan kubelai keriput wajahnya yang membuat bulu kudukku berdiri.
    Kenapa? Kenapa dengan aku? Begitu sulitnya aku menghapus kesedihan ini. Mengapa aku seperti ini? Haruskah aku memohon belas kasih air mataku sendiri untuk berhenti mengalir... ?
    Penyesalan tanpa basa-basi mendekapku erat-erat. Begitu saja ia hadir menyemarakkan nuansa kesedihan yang telah terlebih dahulu hinggap di pikiranku. Kelakuanku yang hingga menjelang ajal ibuku betul-betul masih teringat jelas di benakku dan bagiku bukan pekerjaan yang mudah untuk menghapusnya.
    Entah sudah berapa kali aku membentak ibuku, entah sudah berapa kali aku kabur dari rumah, entah sudah berapa kali aku merengek memaksa sesuatu yang ibuku tak kuasa meluluskannya, entah sudah berapa kali aku menyuguhkan kecemasan kepada ibuku, entah sudah berapa kali.... Entah apa yang telah aku lakukan kepada ibuku dulu.... Entah dan entah....
    Muak aku mengingat diriku yang dulu!
    Aku malu, malu sekali dengan dunia yang telah berkenan mengijinkan ragaku untuk singgah. Apalagi dengan ibuku, bagaimana aku harus menyembunyikan wajahku ini, bila di manapun aku berada, senyum simpul, keriput wajah, dan sorot matanya selalu membayangiku. Beginikah hidup yang harus kujalani... ?
    Sesal... ya, sesallah yang kini berpihak padaku. Rasanya terlambat sudah aku membanting haluan ke jalan yang benar. Hanya doa yang bisa aku panjatkan, tanpa tahu apakah hingga detik ini ibuku benar-benar ikhlas menerima maafku atau justru mengutuk perbuatanku padanya.
    ***
    Huh.... Kuhempaskan nafasku di tengah udara malam yang pengap. Segera kumatikan lampu meja, berbaring, dan berharap bisa tertidur. Namun seperti biasanya begitu susahnya aku memejamkan mata. Sinar gelap yang bagi kebanyakan orang sebagai penerang yang melenakan dalam tidurnya, bagiku justru terasa amat menyilaukan sehingga memaksa mataku untuk tetap terjaga.
    Tok... tok... tok...
    “Ira, makan dulu Nak! Ibu buatkan masakan kesukaanmu.”
    Kenapa lagi nih dengan wanita penjilat itu. Berlagak manis, sok perhatian, dasar penjilat! Penjilat ya tetap saja penjilat. Bosan rasanya aku mendengar suaranya! Kenapa juga ayah mau dengannya, padahal belum genap tiga bulan kematian ibu, ayah telah berpaling begitu saja dan menyanding wanita sialan itu! Apa ayah sudah lupa dengan ibu? Apa yang telah diberikan ibu selama ini kurang? Apa tidak ingat dengan kebaikan ibu? Apa semua kebaikan ibu tidak sedikitpun mengores hati ayah? Apa sih yang sedang ayah pikirkan, hingga mau menikah dengan wanita penjilat itu?
    ***
    “Hei, apa benar dia penjilat?”
    “Sialan, siapa itu! Tentu saja dia penjilat!” sahutku dengan ketus.
    “Ya kalau benar-benar penjilat, kalau bukan?”
    “Buktinya sudah jelas, terang-terangan dia mau mengambil hati ayahku dengan mencoba merayuku!”
    “Oya... Kamu ingin tahu sesuatu hal?”
    “Sesuatu? Apa maksudmu dengan sesuatu?”
    “Sesuatu yang sebenarnya. Bahwa kamulah penjilat itu, jauh lebih hina daripada wanita yang kau sebut penjilat dan benar-benar perbandingan yang tidak sepadan”
    “Aku.... Aku kau sebut penjilat dan bahkan jauh lebih hina dari penjilat sekalipun!?”
    “Tepat, penjilat yang menjilat ludahnya sendiri dengan lidah yang semula kau pergunakan untuk meludah. Apakah itu bukan penjilat sejati namanya?”
    “Sialan! Apa buktinya kalau aku penjilat sejati?”
    “Kau sudah barang tentu masih ingat belum lama kamu berkeinginan membanting haluan ke jalan yang benar? Mana buktinya! Mana! Kau sebut ibu tirimu itu penjilat, bagian mana yang penjilat? Kau buta ya! Kasih sayang, perhatian, dan luapan keikhlasan menerima kehadiranmu kau sebut penjilat? Coba kau buka matamu lebar-lebar! Ingatkah kamu ketika ibumu menjeput ajalnya? Kemanakah kamu? Ngluyur nggak karuan! Dan sekarang kamu mau mengulanginya... ? Sama saja kamu membanting haluan ke jalan yang benar menggunakan kemudi yang salah. Bukankah itu penjilat sejati namanya? Tuhan Maha Mengetahui. Dia mendengar dengan begitu jelas kebohongan tobatmu dan fitnah yang kau hujamkan kepada ayah dan ibu tirimu. Kalau wanita itu kau sebut penjilat, lalu apa lagi sebutan yang tepat untukmu? Apa lagi...! Apa lagi...!
    “Cukup.... Aku mohon cukup!” Nafasku memburu bersamaan dengan siulan burung kenari yang bertengger manis diantara kerumunan dahan diiringi sinar mentari yang mulai menyibak kegelapan dengan kesilauannya.
    Aku benar-benar tak kuasa menahan cercaan dari lubuk hatiku sendiri yang selama ini bungkam. Bertubi-tubi tanpa ampun dia menghantamku, menghunusku dengan pisau tajam yang kuasah sendiri. Penjilat, ya.... Akulah penjilat sejati itu. Lalu sampai kapankah predikat penjilat itu aku sandang? Akankah hatiku kembali berkenan menjawabnya? Bersediakah Tuhan menerima tobat kedua dan harapku untuk yang terakhir ini? Atau mungkin dunia sudah enggan menerimaku untuk singgah... ?
    ***
    “Pagi Ira, gimana tidurnya, nyeyak nggak?” hardik ibu tiriku dengan suara yang membuatku mengiris.
    Seketika itu juga aku dibuatnya kaget setengah mati. Jantungku serasa berhenti berdetak menyambut sapaan hangatnya. Ketakutan karena dirundung rasa bersalah telah membuat tubuhku gemetar.
    Mengangguk.
    Hanya itu yang bisa kulakukan, tak ada lagi. Mulutku seperti terbungkam sungkan untuk mengeluarkan kata-kata.
    “Kenapa kamu? Sakit ya? Pasti gara-gara kemarin malam kamu belum makan. Ini Ibu buatkan sarapan untukmu. Dimakan ya, biar lekas sembuh.”
    Mengangguk.
    Sekali lagi aku melakukannya. Kali ini lidahku benar-benar kaku terganjal penyesalan yang amat sangat.
    “Ya sudah, kamu makan dulu ya? Ibu mau beres-beres dulu di dapur, nanti kalau sudah selesai makan taruh saja piringnya di dapur, nanti biar Ibu yang mencucinya,” sahut ibu tiriku menanggapi anggukan kepalaku.
    Bergegas ibuku bangkit meninggalkanku, sedang aku tak kuasa mencegahnya. Aku benar-benar dirundung kebimbangan, bagaimana aku harus mengutarakannya. Tapi aku tetap harus bicara dengannya, memohon ampun atas segala sikap burukku padanya. Aku harus dan harus bicara....
    “Ibu... !” sahutku dengan terbata-bata mencoba bicara sambil berlari menghampirinya dan seketika itu juga aku sujud bersimpuh di kakinya. “Maafkan aku Bu...,” pintaku memelas penuh pengharapan yang amat besar agar ibu bersedia memaafkan dosa-dosa yang sebenarnya tak terampuni ini.
    Aku menangis sejadinya, meratapi perbuatan hinaku. Bagiku kini, apapun hukuman yang ibu tiriku persembahkan untukku akan aku terima, asalkan dia berkenan memaafkanku.
    Hening... sunyi.
    Seketika ibu mengangkat wajahku, membelai rambutku, mengusap air mata yang tak terelakkan lagi mengalir deras menyusuri pipiku.
    Berusaha tersenyum, itulah yang ibu lakukan sambil mengangguk sesekali terisak menahan haru. Segera ia memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang. Benar-benar pelukan hangat yang sama sekali belum pernah aku rasakan.
    “Maafkan Ibu juga ya Ira? Jika selama ini Ibu tidak mampu menjadi Ibu yang baik, menggantikan almarhum Ibumu,” bisik ibu tiriku seraya mendekapku erat-erat.
    “Tidak Bu, Ibu adalah Ibu yang baik, bahkan sangat baik. Sayalah yang bersalah, sayalah yang keterlaluan Bu, sekali lagi maafkan saya Bu,” sahutku memotong kerendahan ucapannya sambil tak henti-hentinya berjanji dalam hati akan membahagiakan ibu tiriku sebagai penebus perlakuan burukku padanya sekaligus membalas jasa besar almarhum ibuku yang selama hidupnya telah banyak aku kecewakan.
    Aku tahu, aku ini penjilat sejati. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengakhirinya. Kini benar-benar aku akan membanting haluan ke jalan yang benar dengan kemudi yang benar pula. Semoga Tuhan senantiasa menuntun dan menjaga hatiku. Amin.

    Klaten, 14 April 2006

    ReplyDelete