Wednesday, December 10, 2008

Rectoverso Moment Week#4 Winner

"The Hardest Day"
Oleh: Nanda


Bali, 3 April 2008...

Setelah lebih dari satu jam keliling Kuta, akhirnya aku berhenti dan mulai berani menekan sebuah nama di telepon genggam untuk mengabarkan kedatanganku.

“S”.

Memang sengaja aku singkat namanya di daftar kontak, dengan harapan mengurangi kepedihan yang pernah tertanam dalam kenangan. Dua belas tahun yang penuh peristiwa, dari sejak mata kami bertemu, menemukan pasangan jiwa dalam diri satu sama lain, terpisah jarak ratusan kilometer, hingga harus terpisah hati karena "terpaksa" mencintai hati yang lain. Namun tidak sekalipun aku gentar karena cuma satu yang aku tahu: kami adalah sepasang sayap yang tak mungkin terbang tanpa pasangannya. Peluh dan airmata tak pernah jadi alasan untuk melepaskan dia. Dan kali ini aku berada di pulau Dewata, tanah indah yang mengalirkan sebagian darah di tubuhku dan tubuhnya.

Aku ingin bertemu, seperti janji kami yang dulu. Tanpa rencana, tanpa harapan yang muluk-muluk. Aku hanya ingin melihatnya. Itu saja. Sejak aku di Jakarta, entah kenapa, rasanya setiap hal yang kutemui menggiring aku untuk datang kembali ke sini, meskipun harus mendadak cuti sekian hari.

Akhirnya dia di depan mataku, sedikit terkejut, tapi sekaligus juga mengerti jika kami selalu bertemu untuk sesuatu. Dan sebelum aku mengungkapkan rinduku, lengannya mulai memelukku sembari membisikkan cerita jika aku dan dia kini telah lain dunia, terpisah tata cara memuja Sang Pencipta. Dan dia akan meminang kekasihnya.

Aku membeku hampir tak percaya, memilih diam. Nyaris tak bernyawa rasanya. Menggigil tubuhku saat dia katakan bahwa keputusan ini diambil enam bulan yang lalu. Aku teringat bahwa saat itu aku sedang di Jakarta, terbangun pagi-pagi buta lalu menangis tanpa tahu sebabnya. Ternyata… itu sebabnya.

Sekian pertanyaan ingin kuungkapkan, kuteriakkan, bahkan disertai tangis ketidakrelaan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mulutku kelu, lenganku makin kuat mengait tubuhnya, dan jariku kian erat meremas punggungnya.

Dalam dada ada yang sangat nyeri dan kembali terluka, tapi batinku bicara: aku harus bersyukur sempat memeluk dia untuk terakhir kalinya, sebab ia akan pergi esok lusa.

Cerita cinta kami berakhir dan aku tahu aku akan berduka selamanya. Meskipun aku pun menyadari tidak pernah ada yang sia-sia, karena aku sempat memeluknya.

There it goes… up in the sky
There it goes… beyond the clouds
For no reason why
I can’t cry hard enough for you to hear me now
...


* Naskah ini melalui proses edit minimal, tanpa mengurangi makna dan isi.

No comments:

Post a Comment